Pudarnya Budaya Kenthongan Berdampak Hilangnya Salah Satu Tradisi Nusantara.


JAKMAS | Mojokerto Rabu Kliwon 15 Mei 2024. Kenthongan bukan sekedar sebuah kayu glondhong yang dipajang didepan langgar atau mushola atau Balai Desa,. Pada jaman dulu kenthongan menjadi suatu kebutuhan yamg harus ada disetiap wilayah karena multi fungsi sebagai sarana memberi pertanda tentang waktu, wara wara agar masyarakat berkumpul untuk menerima pengumuman penting, pertanda waktu seiring jumlah pukulan di kenthongan, sebagai pertanda ada bencana sesiai dengan irama pukulan, sebagai pertanda ada orang meninggal dengan irama pukulan yang berbeda. 

Dan masyarakat dengan sendirinya sudah hapal arti bervariasinya irama dan jumlah pukulan yang diperdengarkan. Meski sampai sekarang ada yang masih menggunakan kenthongan di wilayah masing masing tetapi jumlahnya sudah hampir separo yang tidak menggunakan kenthongan lagi. Entah dianggap kuno atau karena berpikir kalau misalnya langgar atau mushola diganti dengan bedhuk itu lebih afdol dan modern. Who knows?

Atau ada motif dan indikasi yang terselip didalamnya?

Mari kita cermati dengan sebuah cerita. Aahh anggap wae itu mitos atau legenda karena para leluhur agung kita ketika menciptkan sesuatu yang berguna pasti disertai dengan filisofi tertentu yang erat kaitannya dengan keselarasan alam. 

Konon dikisahkan ketika waktu sembahyang dan kenthongan dari langgar atau mushola dipukul dengan irama tertentu maka itu pertanda waktu melaksanakan sembahyang dan kenapa harus menggunakan kenthongan dari kayu kok bukan gong?

Diceritakan disini tentang filisofinya bahwa bila suara khas kenthongan yang dipukul dengan irama tertentu maka para makhluk astral tidak berani masuk ke wilayah itu dan manusia bisa melaksanakan sembahyangnya dengan khusyuk. Seperti ada energi positif yang menghadang dari bias suara pukulan kenthongan itu yang menghasilkan vibrasi tertentu mengjalangi makhluk astral mendekati area itu. Tentu semua tergantung pada sudut pandang yang berbeda memahami hal seperti ini apa lagi dijaman milenial.

Contoh lagi manfaat kenthongan pada masa itu, bila terjadi musibah atau bencana kemudian terdengar suara kenthongan yang dipukul dengan terus menerus berarti itu tanda bahaya maka masyarakat yang mendengar suara itu segera menyahut dengar memukul kethongan dengan irama yang sama, meski lain desa atau lain wilayah, semua itu dilakukan agar masyarakat waspada bencana dan bisa bersia siap menyelamatkan diri.

Satu lagi contoh yang paling mudah dan sering rerdengar suara kethongan adalah bila ada warga desa atau dusun yang meninggal, ketika kenthongan dipukul dengan irama tertentu maka masyarakat langsung tanggap dan keluar rumah sambil bertanya:" Sinteng ingkang seda?"(Siapakah yang meninggal?) 

Dan terus saling bertanya bersahutan sambil siap siap untuk melayat, dan itu terjadi spontan dengan ketulusan ber bondong bondong itu  datang mengucapkan bela sungkawa sambil membawa oleh oleh sebagai tanda kerukunan dan keperdulian. Inilah yang disebut tradisi masyarakat kita yang peka terhadap situasi. 

Masih banyak lagi kegunaan kenthongan untuk kita pahami secara detail, bahwa menyiapkan kenthongan di depan rumah pribadi pos ronda, didepan balai, balai dusun atau ditempat umum yang terjangkau sangat penting karena pukulan suara kethongan itu bisa mencapai sekian kilometer dari pusat suara.


Yang masih menggunakan kenthongan, dipajang di joglo pojok halaman balai dusun Kademangan Dlanggu Mojokerto Jawa Timur.

Kadospundi miturut panjenengan?

Masih bermanfaat kah kenthongan di jaman milenial ini sambil menjaga tradisi peninggalan leluhur agar wajah budaya kita tidak hilang? Betapa hebatnya leluhur kita pada jamannya dengan memanfaatkan materi yang ada dari hasil kekayaan alam kita suatu karya peninggalan yang penuh filosofi kebak ing pakarti. Salam Cinta Negri dan Salam Budaya Nusantara.

Previous Post Next Post